A. SEJARAH STRUKTURAL KONFLIK (HISTORISASI)
Teori konflik yang muncul pada abad ke sembilan belas dan dua puluh dapat dimengerti sebagai respon dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Mc Quarrie, 1995: 65). Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1864-1920), sampai George Simmel (1858-1918).
Keempat pemikiran ini memberi kontribusi sangat besar terhadap perkembangan analisis konflik kontemporer. Satu pemikiran besar lainnya, yaitu Ibnu Khouldoun sesungguhnya juga berkontribusi terhadap teori konflik. Teori konflik Kholdun bahkan merupakan satu analisis komprehensif mengenai horisontal dan vertikal konflik.Proposisi ini dipaparkan dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam masyarakat.
Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam system sosial akan saling mengajar tujuan yang berbeda dan saling bertanding. Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan–kekuatan yang saling berlomba dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme ketidakteraturan sosial (socialdisorder). Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama adalah kekuatan kelompok atau kelas yang dominant. Para fungsionalis menganggap nilai-nilai bersama (consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik, konsensus itu merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan,nilai-nila.
Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan sosiologi dan merupakan toeri dalam paradigma fakta sosial. Mempunyai bermacam-macam landasan seperti teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan keluar terjadinya konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel berpendapat bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang bisa menyebabkan terjadinya konflik.
Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas borjuis dan proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi borjuis terhadap mereka. Sampai pada tahap ini Marx adalah seorang yang sangat yakin terhadap perubahan sosial radikal, tetapi lepas dari moral Marx, esensi akademiknya adalah realitas kekuasaan kelas terhadap kelas lain yang lemah, konflik antar kelas karena adanya eksploitasi itu, dan suatu perubahan sosial melalui perjuangan kelas, dialektika material, yang sarat konflik dan determinisme ekonomi. Pemikiran ini nantinya sangat berpengaruh dan berkembang sebagai aliran Marxis, neoMarxis, madzab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik lainnya.
Tindakan afektif individu didominasi oleh sisi emosional, dan tindakan tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama. Stratifikasi tidak hanya dibentuk oleh ekonomi melainkan juga prestige (status), dan power (kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang dalam kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan, seperti partai politik.
Pokok pikiran Durkheim adalah fakta sosial, Giddens merinci dua makna yang saling berkaitan, dimana fakta-fakta sosial merupakan hal yang eksternal bagi individu. Pertama-tama tiap orang dilahirkan dalam masyarakat yang terus berkembang dan yang telah mempunyai suatu organisasi atau strutur yang pasti serta yang mempengaruhi kepribadiannya. Kedua fakta-fakta sosial merupakan ‘hal yang berada di luar’ bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun, hanyalah merupakan suatu unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk masyarakat (Giddens, 1986: 108).
Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh kesempurnaannya setelah tradisi pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi atau pertentangan kelas dari Marx, teori teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber, dan Fakta sosial dari Durkheim.
B. KONTEKS SOSIAL STRUKTURAL KONFLIK
Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponene-komponen (subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung satu sama lain dan dalam proses kerja sama saling mencapai tujuan tertentu. Subsistem yang saling berkaitan itu adlah tujuan dan nilai-nilai, tekhnikal, menejerial, psikososial, dan subsistem struktur. Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar belakangi munculnya ketidak cocokan atau ketegangan, antara lain sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang buruk, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan iilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik.
Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (1997:437), selain dapat menciptakan kerja sama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerja sama satu sama lain.
- Memahami konflik struktural
Ketika kita membahas tentang konflik struktur, di dalamnya tidak akan terlepas dengan organisasi, karena struktur tersebut ada di dalam sebuah organisasi. Dan sebuah organisasi tidak akan berjalan dengan baik kalau di dalamnya tidak ada pemimpin sebagai orang yang bertanggung jawab atas organisasi tersebut, dan pemempin itu tidak akan maksimal dalm melaksanan tugasnya tanpa adanya bawahan (karyawan) yang selalu berinteraksi dan membantuya. Adanya pemimpin dan bawahahan tersebut adalah suatu bukti bahwa organisasi dan struktur saling berkaitan.
Oleh karena istilah struktur digunakan dalam artian yang mencakup ukuran (organisasi), derajat spesialisasi yang diberikan oleh anggota kepada organisasi, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dan tujuan organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem imbalan. Dan sebagai tolak ukur, dalam penelitian menunjukkan bahwa ukuran organisasi dan derajad spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik struktur. Makin besar organisasi, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
Jadi konflik struktural adalah suatu proses intraksi yang terjadi akibat adanya ketidak sesuaian atau perbedaan antara dua pendapat (sudut pandang), baik itu terjadi dalam ukuran (organisasi), drajad spesialisasi yang diberikan kepada anggota keorganisasi, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja) ), kecocokan antara tujuan anggota dan tujuan organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem imbalan yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat, baik pengruh positif maupun pengaruh negatif.
- Konflik vertikal, horizontal (Lini, staf, dan peran)
a) Konflik vertikal
Konflik vertikal yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, konflik antara atasan dan bawahan.
Cara menangani konflik vertikal :
· Mengevaluasi diri (intropeksi), karena dengan adanya proses intropeksi diri akan mudah untuk memahami dan menyadari diri dari segala konflik yang bersifat destruktif.
· Menjalin hubungan komunikasi yang baik, dengan memperbaiki hubungan komunikasi, maka bawahan tidak akan sungkan untuk mengungkapkan kekurangan yang menimbulkan konflik untuk diperbaiki.
· Meningkatkan hubungan emosinal yang baik antara atasan dengan bawahan, karena dengan adanya hubungan emosonal bawahan akan lebih fer dan terbuka.
b) Konflik horizontal
Konflik demikian terjadi antara orang0orang atau kelompok-kelompok yang beroperasi pada tingkat hirarki yang sama, misalnya konflik antar karyawan atau antar departemen yang setingkat. Hal itu bisa jadi disebabkan karena ketidaksesuaian tujuan. Kelangkaan sumber-sumber daya, atau faktor-faktor yang murni bersifat anter perorangan.
Cara menangani konflik garis Lini (horizontal) :
· Memanggil karyawan atau departemen-departemen yang terlibat yang berada dalam garis lini (setingkat) untuk memberikan arahan.
· Melakukan evaluasi terhadap berbagu kemajuan yang diperoleh.
· Membuat peraturan bersama dengan karyawan atau departemen yang berada di garis lini, agar ketika konflek horizontal ini mengacu pada dampak negatif sehingga mengakibatkan hancurnya organisasi tersebut.
c) Konflik garis staf
Komplik demikian terjadi, apabila para wakil garis dan staf mencapai ketidaksepakatan tentang persoalan – persoalan penting, dalam hubungan – hubungan kerja mereka.komflik garis –staf itu adalah komplik yang terjadi antara karyawan lini yang biasa memegang komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
Cara menangani konfik garis staf
· memberikan kesempatan pada staf anda sendiri untuk menyelesaikan masalah sendiri, dengan memberikan target waktu
· mendorong pihak yang terkait konflik saling mendegarkan, mencoba melihat sudut pandang orang lain dan fokus pada tujuan dan kepentingan umum.
· Melakukan evaluasi terhadap berbagai kemajuan yang diperoleh, perhatikan secara jelas bahwa dengan komflik telah merugikan TIM secara menyeluruh.
· Menentukan rapat mediasi
· Mengadakan rapat ditempat yang dianggap netral
· Diupayakan sercepat mungkin rapat dimulai jika kedua belah pihak telah berada di ruangan pertemuan yang telah di sediakan
· Menetapkan aturan –aturan dasar, kemudian peserta harus diarahkan agar bisa memperhatikan rasa saling menghormati.
· Menekan eksistensi diri sebagai mediator netral dan menyatakan berbagai konsekuensi terhadap TIM akibat dari komflik yang terjadi.
d) Konflik peran (actor)
Komflik peran,yaitu konflik yang terjadi karna seorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
Cara mengatasi konflik peran (actor)
· Memperjelas job diskripsen pada karyawan atau departemen - departemen yang ada dalam struktur tersebut.karna dengan seperti itu karyawqan akan mengetahui tentang tugas-tugasnya.
· Memberikan kebebasan terhadap karyawan, untuk melaksanakan dan mengembangkan prokram kerjanya.
· Melakukan evakuasi terhadap berbagai kemajuan yang diproleh dari proses berjalannya program kerja yang telah ditetepkan.
Kesimpulan secara umum konflik hirarki (struktur)adalah konflik yang terjadi diberbagai tingkatan organisasi.Konflik struktural suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidak sesuaian atau perbedaan dua pendapat.Baik itu terjadi dalam ukuran organisasi,derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota dengan tujuan organisasi,gaya kepemimpinan,dan sistem imbalan yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat,baik pengaruh positif atau pengaruh negatif.
C. TOKOH-TOKOH YANG BERPERAN DALAM PEMIKIRAN KONFLIK STRUKTURAL
1) KARL MARX
Sejarah Singkat
Karl Marx adalah satu tokoh yang pemikirannya mewarnai dengan sangat jelas dalam perkembangan ilmu sosial. Pemikiran Karl Marx berangkat dari filsafat dialektika Hegel. Hanya saja ia mengganti dialektika ideal menjadi dialektika material, yang diambil dari filsafat Fuerbach, sehingga sejarah merupakan proses perubahan terus menerus secara material.
2) LEWIS A. COSER
Sejarah Singkat
Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial.
Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut.Akan tetapi para ahli sosiologi kontenporer sering mengacuhkan analisa konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia).
Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emil Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan. Penjelasan tentang teori knflik Simmel yang diambil dalam buku Beberapa Teori Sosiologis Seri Pengenalan Sosiologi 5 Georg Simmel halaman 63, sebagai berikut:Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat.
Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa.Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.
3) RALF DAHRENDORF
Sejarah Singkat
Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser (1956), seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.
D. PROPOSISI STRUKTURAL KONFLIK
Jika kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan kesatuan di dalam masyarakat dan hukum atau Undang-undang sebagai sarana untuk meningkatkan integrasi sosial maka kalangan penganut teori konflik justru melihat bertarung untuk memperebutkan “power” dan mengontrol bakan melakukan masyarakat merupakan arena dimana satu kelompok dengan yang lain saling penekanan dan juga melihat hukum atau undang-undang itu tidak lain merupakan cara yang digunakan untuk menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang menguntungkan kelompok-kelompok lainnya.
Menurut Wallase dan Alison, teori konflik memiliki tiga asumsi utama yang saling berhubungan:
· Manusia memiliki kepentingan-kepentingan yang asasi dan mereka berusaha untuk merealisasikan kepentingan-kepentingannya itu
· “Power” bukanlah sekedar barang langkah dan terbagi secara tidak merata, sebagai merupakan sumber konflik, melainkan juga sebagai sesuatu yang bersifat memaksa (coercive). Sebagian menguasai sumber, sedangkan yang lainnya tidak memperolehnya samnilai-nilai dipandangnya sebagai senjata yang dipergunakan oleh berbagai kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan dan kepentingan mereka masing-masing
· Ideologi dan nilai-nilai dipandangnya sebagai senjata yang dipergunakan oleh berbagai kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan dan kepentingan mereka masing-masing.
Apabila diruntut secara histories, elemen-elemen dasarnya berakar pada pemikiran perbedaan pendapat dan saling memperdebatkan pokok-pokok pikiranya, akan tetapi keduanya sama-sama menaruh perhatian terhadap dua hal utama, yakni (1) the way social positions bestow more or less power on their incumbents, (2) the rule of ideas in creating or undermining the legitimaly of social position.
1. PROPOSISI PERTAMA
Proposisi ini secara langsung mengikuti asumsi marx bahwa, “didalam semua struktur sosial, distribusi kekuasaan yang tak merata pasti akan menimbulkan konflik kepentongan antara mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan”.(Tuner, 1978.131). Menurut Marx kesadaran akan konflik kepentingan dapat menyebabkan mereka lemah mulai mempertanyakan keabsahan pola-pola distribusi sumber-sumber yang ada sekarang.
2. PROPOSISI KEDUA
Proposisi ini menerangkan dengan jelas tentang adanya kesadaran segmen-segmen yang lebih lemah akan kepentingan-kepentingan kolektif mereka, sehingga semakin besar kemungkinannya mereka mempertanyakan keabsahan distribusi-distribusi yang tidak merata dengan cara terang-terangan terhadap segmen-segmen deminan suatu system
3. PROPOSISI KETIGA
Subordinate semakin sadar dan memulai konflik secara terang-terangan terhadap dominant. Prposisi ini dipecah menjadi tiga anak proposisi sebagai berikut ; (1)subordinate mengorganisir diri dan memulai konflik, (2) subordinate mengorganisir dan mencetuskan konflik, (3) subordinate mengorganisir diri dan memprakarsai konflik.
4. PROPOSISI KEEMPAT
Pada proposisi ini segmen-segmen dominant dan segmen-segmen subordinatesemakin terpolarisasi. Semakin keras suatu konflik maka akan semakinbesarperubahan structural suatu system dan redistribusi sumber-sumber.
E. PENDAPAT PARA AHLI DALAM STRUKTURAL KONFLIK
- PANDANGAN DAHRENDOF
Pendekatan konflik Marxian dan Weberian, banyak dianut oleh sosiolog modern, tetapi bukan berarti pendekatan ini mendasari dukungan universal. Dipahami bahwa gagasan konflik Marx dan Weber banyak kegunaanya. Strategi konflik Marxian, memandang masyarakat sebagai kebutuhan dan keinginannya. Konflik dan pertentangan menimbulkan dominasi dan subordinasi.
Kelompok yang dominant memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menentukan struktur masyarakat sehingga menguntungkan bagi kelompok mereka sendiri.Asumsi yang mendasari teori sosial non Marxian Dahrendorf adalah
a) manusia sebagai amkhluk sosial mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial,
b) masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat dalam berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas dasar dominasi (borjuasi) yang menguasai proletar.
Karena tidak adanya pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana,produksi, ia mengkritk teori Marx dengan alasan:
(1) Marxian, lemah dalam konseptualnya dengan mencampuradukkan konflik kelas sebagai perubahan dengan masyarakat kapitalis,
(2) pendapat Marx tetang hak milik dalam arti sempit,
(3) kapitalisme yang diterangkan Marx mengalami transformasi bukan evolusi,
(4) keadaan kapitalisme hanyalah salah satu subtype masyarakat industri pasca industri, dan
(5) konflik kelas memuncak karena melibatkan:factor, ekonomi dan politik.
Fenomena sosial yang dijelaskan meliputi :
Fenomena sosial yang dijelaskan meliputi :
(a) konflik atau dominasi dalam hal ekonomi dan politik,
(b) konflik tidak bisa dihilangkan atau diselesaikan, tetapi hanya bisa diatur,
(c) proses konflik dapat dilihat dari intensitasdan sarana (kekarasan).
Fungsi konflik menurut Dahendorf adalah
· membantu membersihkan suasana yang sedang kacau,
· katub penyelamat ( proses / salah satu sikap serta ide) yang berfungsi dalam permusuhan,
· keagrsifan dalam konflik yang realitas (dalam kekecewaan) dan konflik tidak realitas (dalam kebutuhan untuk meredakan ketegangan) mungkin terakumulasi dalam proses interaksi lain sebelum ketengangan dalam situasi konflik diredakan,
· konflik tidak selalu berakhir dengan rasa permusuhan,
· konflik dapat dipakai sebagai indicator kekuatan dan stabilitas suatu hubungan, dan
· konflik dengan berbagai Outgruop dapat memperkuat kohesi (hubungan atau kerjasama) internal suatu kelompok.Dahrendorf adalah tokoh utama teori konflik “wewenang” dan ‘posis’ sebgaai konseptual sentral teorinya.
Ia melihat yang terlibat konflik adalah kelompok semu yaitu para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok kepntingan, yang terdiri dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai strujtur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.
Seperti halnya consensus dan konflik adalah sebuah realitas sosial. Teori konflik dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial yang mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai
Menurut Marx “kepentingan” selalu dipandang dari segi materialnya saja tetapi sebenarnya menurut dahrendorf “kepentingan” selalu memiliki suatu harapan-harapan. Dalam memegang peran penguasa seseorang tersebut akan bertindak demi keuntungan organisasi sebagai suatu keseluruhan dan dalam kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan.Dahrendorf melihat masyarakat berisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerjasama, sehingga segala sesuatunya dapat dianalisa dengan fungsionalisme struktual dan dapat pula dengan konflik. Harapannya bersama Coser, agar perspektif konflik dapat digunakan dalam rangka memahami dengan lebih baik fenomena sosial. Sebalikmya, Durkheim cenderung, meihat konflik yang berlebihan sebagai sesuatu yang tidak normal dalam integrasi masyarakat. Simmel juga berasumsi bahwa konflik dan ketegangan adalah sesuatu yang “abnormal” atau keduanya merusakkan persatuan kelompok, merupakan suatu perspektif yang penuh bias yang tidak didukung oleh kenyataan.
Dahrendorf dalam mejelaskan konflik berpindah dari struktur peran kepada tingkah laku peran. Tetapi keduanya tidak bisa berjalan bersama-sama dalam bentuk hubungan sebaba-akibat. Karena keduanya tidak dipisahkan secara jelas sebagai fenomena yang berbeda. Masing-masing tergantung pada yang lain tanpa melakukan penjelasan satu sama lain.
2. PANDANGAN KARL MARX
Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
3. PANDANGAN LOWIS A.COUSER
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.
Coser (1956: 41) melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara fihak- fihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.
Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. Contohnya Badan perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
b) Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. Contohnya dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yyang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan klienya, tetapi setelah meinggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.
Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan.
Coser (1956: 62) mengatakan dalam buku Sosiologi Kontemporer halaman 113, yaitu:
Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relative bebas diungkapkan.
Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut.Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. Misalnya konflik antara suami dan istri, sepasang kekasih, dll.Coser (1956: 72) mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar