Minggu, 12 Juni 2011

TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL


TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL
A.          Pengertian Moral
Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan.  Kata mos jika akan dijadikan kata keterangan atau kata sifat lalu mendapat perubahan dan belakangannnya, sehingga membiasakan menjadi “morris” kepada kebiasaan moral dan lain-lain dan moral adalah kata nama sifat dari kebiasaan itu, yang semula berbunyi moralis. 
Kata   sifat tidak akan berdiri sendiri dalam kehidupan sehari-hari selalu dihubungkan dengan barang lain.  Begitu pula kata moralis dalam dunia ilmu lalu dihubungkan  dengan scientia dan berbunyi scientis moralis,  atau philosophia moralis.  Karena biasanya orag-orang telah mengetahui bahwa pemakaian selalu berhubungan deangan kata-kata yang mempunyai arti ilmu.  Maka untuk mudahnya disingkat jadi moral.Perkata diartikan dengan ajaran kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Dengan demikian moral dapat diartikan ajaran kesusilaan.  Moralitas berarti hal mengenai kesusialaan.
Sedang, etika merupakan suatu ilmu yang membicarakan tentang perilaku manusia, perbuatan manusia yang baik dan yang buruk.
Menurut hukum etika sesuatu perbuatan itu dinilai pada 3 tingkat:
1)      Semasih belum lahir jadi perbuatan, jadi masih berupa rencana dalam kata hati; niat
2)      Sesudahnya sudah berupa perbuatan nyata = pekerti
3)      Akibat atau hasil dari perbuatan itu = baik atau tidak baik
Variabel pencapaian dari niat atau karsa itu sendiri adalah sebagai berikut:
1)      Tujuannya baik tetapi cara mencapainya tidak baik
2)      Tujuannya yang tidak baik cara mencapainya (kelihatannya) baik
3)      Tujuannya baik cara mencapainya juga baik
Cara pertama ini menggambarkan adanya sesuatu kekerasan .  masalah tujuan yang tidak perlu dibicarakan lagi karena sudah jelas baik yag dinilai sekarang ialah cara mencapainya.  Cara kedua tujuan jahat tetapi cara memperolehnya kelihatannya baik.  Ini menggambarkan bahwa yang ditempuh itu tidak fair, tidak sehat tetapi licik diliputi oleh kepalsuan, penipuan.
B.           Teori Piaget 
Dalam bukunya The moral judgement of  the Child (1923) Piaget menyatakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap yang lebih tinggi.  Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan Piaget adalah bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan.  Ia mendekati pertanyaan itu dari dua sudut. 
Pertama  kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan)  dan kedua, pelaksanaan dari peraturan itu.  Piaget mengamati anak-anak bermain kelereng, suatu permainan yang lazim dilakukan oleh anak-anak diseluruh dunia dan permainan itu jarang diajarkan secara formal oleh orang dewasa.  Dengan demikian permainan itu mempunyai  peraturan yang jarang atau malah tidak sama sekali ada campur tangan orang dewasa.  Dan melalui perkembangan umur maka orientasi perkembangan itupun berkembang dari sikap heteronom ( bahwasannya peraturan itu berasal dari diri orang lain) menjadi otonom dari dalam diri sendiri.
Pada tahap heteronom anak-anak menggangap bahwa peraturan yang diberlakukan dan berasal dari bukan dirinya merupakan sesuatu yang patut dipatuhi, dihormati, diikuti dan ditaati oleh pemain.  Pada tahap otonom, anak-anak  beranggapan bahwa peraturan-peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama antara para pemain. Anak-anak pada usia paling muda hingga umur dua tahun  melakukan aktivitas bermain dengan apa adanya, tanpa aturan dan tanpa ada hal yang patut untuk mereka patuhi.  Mereka adalah motor activity tanpa dipimpin oleh pikiran.  Pada tahap ini mereka belum menyadari adanya peraturan yang koersif, atau bersifat memaksa dan harus ditaati.  Dalam pelaksanaannya peraturan kegiatan anak-anak pada umur itu  merupakan motor activiy.
Anak-anak pada umur antara 2 sampai 6 tahun mereka telah mulai memperhatikan dan bahkan meniru  cara bermain anak-anak yang lebih besar dari mereka.  Pada tahap ini anak-anak telah mulai menyadari adanya peraturan dan ketaatan yang telah dibuat dari luar dirinya dan harus ditaati dan tidak boleh diganggu gugat.  Pada tahap ini anak-anak cenderung bersikap egosentris, mereka akan memandang  “sangat salah” apabila aturan yang telah ada di ubah dan dilanggar.  Dan ia meniru apa yang dilihatnya semata-mata demi untuk dirinya sendiri, tidak tahu bahwa bermain adalah aktivitas yang dilakukan dengan anak-anak lainnya.  Sehingga meskipun bermain dilakukan secara bersama sama namun sebenarnya mereka bermain secara individu, sendiri-sendiri dengan melakukan pola dan cara yang mereka yakini sendiri.  Pelaksanaan yang bersifat egosentris merupakan tahap peralihan dari tahap yang individualistis murni ke tahap permainan yang bersifat social.
Anak pada usia 7-10 tahun beralih dari kesenangan yang semata-mata psikomotor kepada kesenangan yang didapatkan dari persaingan dengan kawan main dengan mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku dan disetujui bersama.  Walaupun sebenarnya tidak faham akan peraturan sampai hal yang paling kecil namun keinginan untuk bekerja sama dengan kawan bermain amatlah besar.  Anak ingin memahami peraturan dan bermain dengan setiap mengikuti peraturan itu.  Pada tahap ini sifat heteronom berangsur menjadi  otonom.
Pada usia 11 sampai 12 tahun kemampuan anak untuk berfikir abstrak mulai berkembang.  Pada umur umur itu, kodifikasi ( penentuan) peraturan sudah dianggap perlu.  Kadang-kadang mereka lebih asyik tertarik pada soal-soal peraturan daripada menjalankan permainannya sendiri.


C.          Teori Kohlberg
Teori Piaget kemudian menjadi inspirasi bagi Kohlberg.  Hal yang menjadi kajian Kohlberg adalah tertumpu pada argumentasi anak dan perkembangan argumentasi itu sendiri. Melalui penelitian yang dilakukannya selama 14 tahun, Kohlberg kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam) tahap dalam moral reasoning yang kemudian dibagi dalam tiga taraf. 
1.      Taraf Pra-Konvensional
Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis (berdasarkan dengan enak dan tidak enak, suka dan tidak suka)  kalau jahat dihukum kalau baik diberi hadiah.  Anak pada usia ini juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi, orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya. 
Pada taraf ini terdiri dari dua tahapan yaitu:
1)      Punishment and obedience orientation
Akibat-akibat fisik dari tindakan menentukan baik buruknya tindakan tersebut menghindari hukuman dan taat secara buta pada yang berkuasa diangga bernilai pada dirinya sendiri.
2)      Instrument-relativist orientation
Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain.  Hubungan antar manusia dianggap sebagai hubungan jual beli di pasar.  Engkau menjual saya membeli, saya menyenangkan kamu, maka kamu mesti menyenangkan saya.

2.      Taraf Konvensional (Conventional Level)
Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga atau bangsa bernilai pada dirinya sendiri.  Anak tidak hanya mau berkompromi , tapi setia kepadanya, berusaha mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan secara aktif, menunjang ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang mengusahakan ketertiban social.  Dua tahap dalam taraf ini adalah:
1)      Tahap interpersonal corcodance atau “good boy-nice girl” orientation.
Tingkah laku yang lebih baik adalah tingkah laku yang membuat senang orang lain atau yang menolong orang lain dan yang mendapat persetujuan  mereka.  Supaya diterima dan disetujui orang lain seseorang harus berlaku “manis”.  Orang berusaha membuat dirinya wajar  seperti pada umumnya orang lain bertingkah laku.  Intensi tingkah laku walaupun kadang-kadang berbeda dari pelaksanaanya sudah diperhitungkan, misalnya orang-orang yang mencuri buat anaknya yang hampir mati dianggap berintensi baik.
2)      Tahap law and order orientation.
Otoritas peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan dan pemeliharaan ketertiban social dijunjung tinggi dalam tahap ini.  Tingkah laku disebut benar, bila orang melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban social.
3.      Taraf Sesudah Konvensional (Pasca Konventional Level)
Pada taraf ini seorang individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan entah prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana. Tahapannya adalah:
1)      Social contract orientation.
Dalam tahap ini orang mengartikan benar-salahnya suatu tindakan atas hak-hak individu  dsan norma-norma  yang sudah teruji di masyarakat.  Disadari bahwa nilai-nilai yang bersiat relative, maka perlu ada usaha untuk mencapai suatu consensus bersama.
2)      The universal ethical principle orientation.
Benar salahnya tindakan ditentukan oleh keputusan suara nurani hati.  Sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dianut oleh orang yang bersangkutan, prinsip prinsip etis itu bersifat avstrak.  Pada intinya prinsip etis itu adalah prinsip keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat (nilai) manusia sebagai pribadi.
Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya seperti itu berlakulan dalil brikut :
  1. Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya.
  2. Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir dari tahap yang lebih dari dua tahap diatasnya.
  3. Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertarik pada cara berfikir dari satu tahap diatas tahapnya sendiri. Anak dari 2 tahap merasa tertarik kepada tahap 3. Berdasarkan inilah Kohlber percaya bahwa moral reasoning dapat dan mungkin diperkembangkan.
  4. Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik.  Sesorang yang sudah mapan dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehinga ia terangsang untuk memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya.  Kalau ia tetap tentram dan tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada perkembangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar